MAMA DAN CALON SUAMIKU
“Mama Dan Calon Suamiku”
Hari ini adalah hari pernikahanku. Hari yang sangat special dan telah lama kutunggu-tunggu dalam hidupku. Begitu pula keluargaku. Namun aneh, entah mengapa sikap mama berubah seketika. Tepat di hari H pernikahanku. Hitam nan kelam.
Aku tengah duduk bersama calon suamiku di ruang keluarga bersama keluarga dan kerabat calon suamiku. Suamiku adalah seorang artis terkenal. Ia anak pertama dari ketiga bersaudara. Pendiam, penyantun, dan murah senyum walau ia tak setampan kedua adiknya. Aku merasa beruntung memilikinya, apalagi keluarga besarnya juga menyayangiku.
Sekian lama aku melalang buana. Hidup dalam perantauan, berkeliaran, dan bertarung dengan yang namanya kekerasan kehidupan. Aku tak pernah memikirkan yang namanya cinta, apalagi berencana untuk berumah tangga. Aku hanya menginginkan kehidupan yang serba bebas tanpa aturan dan semacamnya. Kubunuh semua rasa yang namanya cinta di dalam hidupku, hingga aku bertemu dengannya.
Suasana begitu riuh, suara anak-anak tetangga berdendang riang, dan para pemuda kampong bersorak sorai. Aku tersenyum memandangi mereka. Teringat dulu saat aku masih kecil. Kupandangi wajah calon suamiku dari waktu ke waktu. Aku masih merasa heran dan tak habis pikir mengapa pada akhirnya aku luluh, jatuh juga dalam pelukannya, dan menerima lamarannya. Sementara hatiku masih belum bisa mencintainya sepenuh jiwa.
Sungguh aneh, tapi itulah faktanya. Sekeras-kerasnya karang di tengah lautan, pada akhirnya ia akan terkikis jua oleh kesabaran ombak. Hatiku berdegup kencang, aku takut mengalami kegagalan. Ada coretan hitam dalam sejarah hidupku yang tak seorangpun tahu. Bahkan dia calon suamiku pun, aku tak berani menatapnya dengan kejujuran. Aku sungguh merasa takut, terhormat, tersanjung di perlakukan layaknya seorang ratu oleh dia dan keluarganya.
Kulihat mama datang dari arah rumah kami yang satunya. Raut muka mama terlihat sedih dan muram. Ada sesuatu yang mama sembunyikan dariku dari cara mama menatapku yang penuh kegelisahan. Namun mama tetap tersenyum dan melambaikan tangannya padaku.
Tiba-tiba mama berhenti di ujung taman. Mama tak mau masuk ke dalam rumah dan menemui keluarga calon suamiku. Mama malah menyuruh seseorang untuk memanggil calon suamiku keluar dan menemuinya. Seketika hatiku beubah menjadi galau, benci, dan marah takkala kulihat mama membawa calon suamiku ke suatu tempat jauh dari keramaian orang. Lalu kuperhatikan raut wajah calon suamiku yang berubah menjadi muram.
Sekejap calon suamiku menoleh ke arahku dengan tatapan mata sayu yang membuatku penuh tanda tanya. Entah apa yang mama katakana padanya. Yang jelas pikiranku bertanya, “Ada apa gerangan mama memanggilnya?” berbagai tanda Tanya negative memasuki otakku.
Kuarahkan pandanganku ke sisi taman. Kucoba untuk menepis pikiran-pikiran kotor tentang mama dari dalam benakku, lalu kulanjutkan bercengkrama dengan calon ibu mertuaku. Kulihat senyum yang merekah dari sudut bibirnya, begitu pula dengan calon adik-adik iparku. Mereka bahagia menyambut hari pernikahan ini. kini suara canda tawa mereka menghiasi ruangan kosong yang ada dalam kalbuku setelah kian lama aku menutupnya.
Maklum, setelah pengkhianatan yang aku terima dari orang-orang terdekatku, sikapku berubah menjadi pesimis dan sinis. Aku menjadi orang yang selalu curiga dan menutup diri dari pergaulan di kampong. Mudah marah dan emosi, hingga aku membuat keputusan untuk tinggal di daerah kota yang mayoritas masyarakatnya tidak pernah perduli dengan urusan orang lain atau biasa di sebut tidak pernah gossip keliling layaknya tukang sayur.
Calon suamiku adalah anak kesayangan dalam keluarganya, karena selama ini calon suamikulah yang mensupport penuh keluarganya. Merelakan masa lajangnya untuk bekerja keras membantu keluarga hingga kedua adiknya mampu berdiri di kaki mereka masing-masing. Membiarkan kedua adiknya melangkahi pernikahannya demi cinta dan kasih sayangnya pada keluarga. Itu kenapa semua keluarga besarnya menghormati dan mengutamakan kebutuhannya.
Pikiranku masih melayang dalam tanda tanya tak menentu. Ingin aku berlari keluar menyusul calon suamiku, namun aku tak mau merusak suasana bahagia calon mertuaku. Lalu adik iparku datang sambil menggendong bayinya yang masih memerah berumur 2 minggu. Mukanya terlihat bahagia melihatku ada di samping mertuanya. Di berikannya bayi itu ke aku, seolah bayi itu tau apa yang ada di dalam pikiranku. Seperti sebuah keajaiban, ia menatapku sambil tersenyum dan mengeluarkan kata-kata yang tak mampu kutela’ah.
Kutatap waktu, telah lama calon suamiku meninggalkanku, namun ia belum juga kembali. Kusuruh seseorang mencari tau di mana letak mama dan calon suamiku berada. Ternyata mereka masih berbincang-bincang di dekat kolam kecil. Perasaan kesal dan penasaran semakin kuat menyelimutiku. “ Kenapa mama?”
Kuputuskan untuk undur diri dari ruang keluarga dan keluar untuk menyusul calon suamiku. Namun calon ibu mertuaku menghentikan langkahku. Ia hanya tersenyum, memelukku,dan mengecup keningku, lalu membiarkan aku keluar ruangan.
Kutelusuri jalan di taman menuju kolam. Kulihat adik perempuanku berjalan keluar dari kerumuan. Raut wajahnya muram sambil merunduk jalan tanpa semangat. Ada kesan benci terlihat dalam garis matanya. Ia hanya menatapku dan berlalu tanpa sepatah kata pun. Aku pun kian heran. Ingin sekali aku berteriak, takkala kulihat calon suamiku di kerumuin keluarga mama. Ia seolah tengah di introgasi dan kebencian mulai tumbuh pada mama.
Kerumuan itu membubarkan diri takkala mendengar degup langkahku. Mama melihatku, Ia terkejut dan langsung pergi meninggalkan calon suamiku di iringi saudara-saudara mama yang lain. Tinggallah calon suamiku dan dua orang laki-laki yang menemaninya. Mereka saling membisu, menatap awan dan awang. Sementara calon suamiku duduk di tepian rumput sambil menatap ikan-ikan kecil berenang dan berdendang.
Ku hampiri mereka secara pelan. Maksud hati ingin mengajaknya keluar dari situ, namun entah kenapa aku tak berani memanggilnya, menganggunya. Aku hanya mampu menatapnya tanpa sepatah katapun. Ada rasa sakit yang mengiris batin ketika kulihat raut wajahnya yang tertunduk sayu, layu, tanpa semangat dan gairah seperti orang linglung. Seolah ia bimbang, ragu, dan putus asa untuk menatap ke depan. Ia pun tak menyadari kehadiranku yang telah lama berdiri di sampingnya.
Kubalikkan wajah, dan langkahku meninggalkannya. Ia sempat melihatku, namun ia tak bergerak untuk mengejarku. Malah ia terlihat semakin kalut dan bingung. Aku pun berlalu dengan rasa yang mulai hampa dan mati kembali seperti dulu. Bibirku pun tersenyum mengejekku dengan sikap sinis mulai datang kembali dan berkata “Ahhh……aku tau ini akan terjadi.” Namun sebagian dari hatiku menjerit tak bisa menerima apa yang kulihat.
Mati rasa, itulah yang kurasakan. Kuhentikan langkahku sejenak di sudut taman. Kupejamkan mata, lalu kuhirup udara dalam-dalam. Angin membelaiku dengan penuh setia, membawaku sejenak ke alam maya lau mengantarkanku kembali ke dunia nyata. Kuputuskan untuk mencari mama dan adikku. Ku persiapkan diriku untuk sebuah jawaban.
Di tengah jalan takkala aku hendak menaiki tangga taman menuju dapur, aku berpapasan dengan adikku. Rasa benci kembali menyelimutiku ketika kulihat tatapan wajahnya yang seolah ingin menghindari. Ia berbalik arah dan buru-buru pergi menjauh, yang memaksaku untuk berteriak dengan jarak 10 m.
“Mama bilang apa ama dia?” teriakku dengan nada emosi yang mengejutkan wajahnya dan membuat ia semakin ketakutan.
Ia pun masih diam membisu, enggan untuk berkata, membuat emosiku semakin meluap, mengeluarkan kata-kata kotor, dan harus mengulang pertanyaanku sampai beberapa kali. Akhirnya ia pun mau angkat bicara. Namun aku tak mau mendengarkan penjelasannya dan tak mau memberikan ia kesempatan. Kubalikkan tubuhku menuju tangga, samar kudengar jawabanya.
“Dia bersi keras mencintaimu segenap jiwa raganya dan tak kan meninggalkanmu. Ia akan tetap menikahimu.” Jawab adikku seraya menunduk sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikapku yang angkuh dan sinis.
Aku pun tersenyum sinis lagi. Jawaban itu tak memberiku kepuasan, malah kebencian yang semakin tinggi pada mama dan dia. Walau ada sedikit rasa penentram di dalam hatiku ketika kulihat senyum kecil di sudut bibirnya.
Kumasuki ruang pintu dapur dan tak kutemukan mama kecuali dua orang penanak nasi.
“Mana Mama?” bentakku pada mereka. Sikapku sangat kasar dan tak hormat. Mereka hanya diam membisu, mengacuhkannku, membuatku semakin marah dan benci. Kutendang bangku kecil di depanku sambil kulontarkan kata-kata. Mereka pun Nampak seperti serba salah dan penuh ketakutan. “Aneh!” pikirku menyaksikan garis muka mereka yang seperti merahasiakan sesuatu dariku.
Tiba-tiba dari arah pintu sebelah, mama datang di iringi kerabat mama. Begitu melihatku, mama berusaha pergi menjauh dan menghindar. Seolah mama takut menghadapiku. Aku pun semakin benci melihat sikap mama dan juga kerabat mama yang selalu mengikuti mama dari belakang. Sikap dingin itu menghilangkan rasa hormatku terhadap mama.
“Mama!!” teriakku lantang.
Mama pun berbalik menghadapku dengan muka yang serba salah dan kebingungan. Langkahnya pelan dan gontai. Senyumnya perih dan matanya penuh takut.
“Sini kau! Ambil kursi ini dan duduk sini.” Bentakku keras sambil menendang kursi di hadapanku tanpa memperdulikan perasaannya.
“Baiklah. Mama duduk di sini aja.” Katanya getir sambil duduk di bangku panjang sebelahku. Di ikuti kedua bibi mama.
“Aku suruh kamu duduk di kursi ini. Kita perlu bicara empat mata. Ngapain duduk di situ!” bentakku menjadi-jadi. Namun mama bersikeras duduk di bangku panjang dengan kedua bibinya. Akhirnya aku pun mengalah. Aku duduk berhadapan dengan mama. Beberapa saat kemudian, banyak orang terlihat datang memasuki dapur.
“Ehh,,,, ngapain kalian di sini? Ada urusan apa kalian ikut duduk. Mo nguping?” bentakku pada semua orang yang ada di dapur. Raut wajah mama pun tak senang dengan sikapku yang tak hormat.
“Ma… kenapa sich ma? Ada apa ini!”. Tanyaku tak mampu menahn emosi.
“Kami tak setuju.” Jawab kedua bibi mama.
“Ehh,,, loe jangan ikut campur yahh.. ini urusan saya sama mama. Minggat kalian!” bentakku dengan nada murka. Mama pun segera angkat bicara.
“Nak! Maksud kakek sama nenekmu ga setuju.” Kata mama seolah mati rasa akan perasaanku.
“Mama! Benarkah kakek berkata seperti itu mama? Kenapa mama? Kasih saya alasan.” Pintaku merendahkan suara takkala nama kakek di sebut. Mama hanya diam membisu.
“Mama! Ok. Kalau itu memang benar kata kakek, saya akan jalani. Saya akan batalkan mama, demi cinta kakek. Asal mama tau, hanya keputusan kakek yang akan saya ikuti. Kakek saya hanya ada satu selamanya, tetapi bukan kedua orang di samping mama.” Teriakku sambil mengerebek meja di depan mama.
Di tengah-tengah perkelahiaan antara mama dan aku, calon suamiku datang dengan berhambur. Kuhancurkan semua barang-barang yang di atas meja dengan tendangan kakiku. Semua merasa tercekam melihat sikap perilaku-ku. Ada beberapa yang sempat lari keluar hingga menabrak tubuh calon suamiku. Sempat aku terkejut dan ketakutan melihat calon suamiku berdiri di sebelahku. Namun rasa amarah lebih menguasaiku.
Kubiarkan calon suamiku melihat karakter sisi burukku, agar kelak ia tak menyesal. Toh, sudah taka ada harapan lagi. Aku pun telah memutuskan untuk kembali berpetualang ke luar negeri bila pernikahan ini batal. Aku sudah tak perduli dengan semuanya. Kutatap wajah calon suamiku dengan penuh kebencian.
“Aku perlu bicara.” Katanya menatapku dengan tegas.
“Silakan!” jawabku sinis tanpa menoleh sedikit pun.
“Minggat kalian semua dari ruangan ini. Saya mo bicara empat mata dengan dia!” perintahku pada mama dan semua yang ada di dalam dapur itu. Namun tak seorang pun mau beranjak. Aku pun semakin kesal.
“Dengar ga sich?” bentakku ingin mencabik mereka semua.
“Kami ingin tau apa yang kalian diskusikan.” Jawab kedua bibi mama dengan lantang.
“What????”” tanyaku ga percaya. Aku pun semakin memanas penuh emosi dan hamper menghantam keduanya dengan sesuatu yang ada di hadapanku..
“Mamaaaaaaa……!” teriakku sambil kuhantam meja itu dengan kakiku. Kutumpahkan serta kubalikkan meja di hadapan semuanya. Aku tak kuasa menaggung rasa benci ini, aku benci mama yang dengan tiba-tiba berubah pikiran. Mengikuti semua kata saudaranya.
“Tak perlu. Biarkan saja jika mereka ingin mendengar.” Kata calon suamiku tegas. Membuatku panic dan ketakutan. Rasanya aku tak sanggup di putus di depan keluarga mama. Aku pun menangis tersedu-sedu.
“Apa kamu sudah dapat jawabannya?” Tanya mama pada calon suamiku.
“Ya!” jawab calon suamiku sambil terus menatapku penuh iba.
“Lalu?” Tanya mama lagi.
“Aku akan tetap menikahinya apapun itu jua.” Jawabnya dengan tegas.
Aku pun terkejut tak percaya mendengar pengakuannya. Mama hanya tertunduk layu membisu.sementara keluarga mama terlihat sangat tidak senang. Hatiku hancur melihat sikap mama. Kuraih lengan calon suamiku, kubawa ia lari, berhambur keluar dari dapur sambil membawa sepenuh air dalam ember yang hamper ku pakai untuk menghantam mereka semua.
Berlari dan terus berlari, kutuju tepi sungai yang tinggi. Kupanjat ketinggian sungai yang tak memiliki jalan menuju ke atas. Terpaksa aku harus memanjat sebatang pohon agar aku bisa duduk di tepian sungai, menikmati keindahan alamnya.
Kutatap kampong sebelah yang kini berubah menjadi kota indah. Mataku tertuju pada sebuah taman yang asri. Suara Anak-anak dan kedua orang tua tertawa ria dalam kebersamaan. Seketika aku aku menjerit dan menangis sepuas-puasku pada sebatang pohon waru.
“Ayaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhh……!” teriakkku pilu. Aku rindu sekali suasana itu. Saat-saat ayah memanjakanku dalam pelukannya.
Caon suamiku hanya diam di sampingku, menatapku. Di ambilnya air dalam ember itu, lalu di usapkannya ke mukanya layaknya ia tengah mengambil air wudhu. Ia tersenyum padaku dengan senyuman lembut penuh kasih sayang, lalu mendekapku dan berbisik pelan,” Everything will be alright!”.
THE END.
By: E.Makara
Comments
Post a Comment